Perlu Ada Kebijakan Khusus Pemanfaatan Kain Sarigading

0

Dr Taufik Arbain :  Seperti Sasirangan Namun Sarigading Lebih Kental Kain Panambaan

 

Naiknya pamor kain Sarigadinng seiring dengan masuknya Husaini, pemuda asal Cangkring, Amuntai, Hulu Sungai Utara, dalam nominasi nasional, Apresiasi Kreasi Indonesia (AKI) Tahun 2023, memberi angin segar perkembangan kain tenun ikat khas warisan Kerajaan Negara Dipa.

Kain tenun ikat Sarigading yang dikenal sebagai salah satu kain yang dianggap keramat dalam prosesi pengobatan (batatamba) masyarakat suku Banjar,terus dikembangkan dengan kreasi-kreasi sentuhan tangan dingin Husaini bersama masyarakat Amuntai.

Upaya Husaini mengembangkan kain Sarigading pun terus mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat Banjar. Tak hanya masyarakat biasa, tokoh masyarakat Banjar, namun juga seorang akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Dr Taufik Arbain.

Menurut pria yang merupakan putra asli Hulu Sungai Utara, starting position kain ini sebenarnya sama dan mirip dengan kehadiran kain motif sasirangan yang semula sebagai kain pengobatan, atau penanambaan. Namun, oleh waktu perlu ada kekhasan suatu etnis dan daerah, maka pilihan menjadikan sasirangan sebagai motif batik khas etnis Banjar. Hanya saja, kesan kain Sarigading sebagai kain untuk “penanambaan” sangat kental dibandingkan kain sasirangan saat ini.

 

Dr Taufik Arbain, Ketua Prodi Magister Administrasi Publik Fisip ULM.

 

“Fakta ini yang terkadang ada pandangan orang dan rasa  “kehati-hatian” mengenakan kain tenun Sarigading ini, sehingga ianya tidak sepopuler dan dan sefamiliar kain Sasirangan. Apalagi kain tenun Sarigading merupakan kain tenun keramat, yang notabene adalah kain pembesar kerajaan masa lalu dan kain pengobatan pada masa tertentu. Jika dalam kepentingan pengobatan, justru hanya pada orang “tutus” saja bisa dipergunakan,” ujar Taufik Arbain, kepada tim economic travelling.com, Sabtu (29/04/2023).

Pria yang menjadi Staf Khusus Gubernur Kalsel ini memiliki pengalaman tersendiri dengan ritual pengobatan yang menggunakan kain Sarigading sebagai sarana upaya penyembuhan yang dilakukan seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam ritual batatamba ala masyarakat suku Banjar.

“saya sendiri masa kecil sakit tidak sembuh-sembuh, oleh ibu diikatkan kepala dengan kain sarigading ini. Alhamdulilah kebetulan sembuh!” cerita Taufik Arbain, yang dikenal pula sebagai Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Banjar Kalsel ini.

 

 

Taufik Arbain pun memberikan pandangan tersendiri terkait kain Sarigading ini. Dalam Dalam rangka mendorong varian motif dalam kekhas kain yang dimiliki etnis Banjar, menurutnya perlu ada kebijakan khusus pemanfaatan, pendayagunaan jenis kain  Sarigading ini, sebagaimana dahulu masa Gubernur HM Said, lewat ibu Noorlatif Said jenis kain Sasirangan dipilih sebagai Kain motif khas Banjar.Hingga akhirnya sampai kini semua orang bisa menyaksikan bagaimana perkembangan motif, pewarnaan, dan model penenunan kain sasirangan yang mengikuti zaman dan khas

“ Tentu guna mendorong bisa berkembang, menjadikan ikon baru diperlukan kebijakan pemerintah terkait.  Maka dari itu lintas sektor penting, baik dinas Pariwisata, dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas perindustrian dan dan Dinas Perdagangan dan UMKM. Cross cuting kebijakannya penting dikonstruksi, dalam rangka mendorong akselarasi familiarnya kain tenun Sarigading ini,” ungkap Taufik Arbain, yang sehari-hari adalah Ketua Prodi Magister Administrasi Publik Fisip ULM.

Karena itulah sambung Taufik, diperlukan pula keterlibatan privat sector (swasta) khususnya dalam rangka membangkitkan gairah jiwa interpreneur di bidang penenunan Kain Sarigading ini agar bisa memasyarakat dan memiliki multi fungsi sebagaimana sasirangan.

”Karenanya kami semua sangat mengapresiasi kalau ada kalangan privat sector dan pengusaha ikut andil dalam mendorong kebangkitan usaha tenun Sarigading ini agar bisa maju sebagaimana Sasirangan. Governance collaboration sangat ideal sebagai pendekatan membantu kebijakan pemerintah guna akselarasi usaha ini dan dalam rangka membantu perekonomian masyarakat, selain melestarikan nilai-nilai kebudayaan,” begitu pendapat lulusan  Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik UGM ini. (Olpah Sari Risanta).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Exit mobile version