Bisakah Wartawan Naik Kelas Jadi Mediapreneur ?

0

                         Oleh : Muhammad Risanta SE MM

 

Momentum hari Buruh sangat bagus sebagai momentum wartawan bisa naik kelas menjadi mediapreneur. Begitulah ungkapan seorang wartawan muda bernama Adam Nugraha Basrindu. Pria muda yang merupakan Ketua SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Banjarmasin, terketuk hatinya menuangkan tulisan yang disebarkan ke sejumlah media, sebagai refleksi harapan jauh ke depan.

Hari Buruh dalam sudut pandang anak muda yang dikenal juga sebagai Founder Starup Warko.id, sebuah momentum kebangkitan yang harus diisi sebaik mungkin, mendorong perbaikan kesejahteraan mereka yang dulunya dikenal dengan sebutan kuli tinta (merujuk kegiatan industri pers pada masanya yang banyak bergerak di media cetak, sebelum ada media online).

Adam menganologikan yang sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia (kbbi) memiliki dua arti, yaitu yang pertama adalah “wartawan” dan yang kedua adalah orang yang memperoleh penghasilan (bermata pencaharian) dari menulis karangan (artikel, buku, dsb).

“Memang fakta di lapangan kuli tinta atau wartawan pada media-media besar memang memiliki gaji atau upah yang sangat layak, namun masih banyak wartawan yang bergaji rendah, di bawah UMP. Padahal wartawan selalu dituntut profesional. Tuntutan itu akan sulit tercapai jika wartawan digaji secara tak layak,” begitu tulisnya dalam artikel panjang.

Ada hal menarik yang dikemukakan wartawan muda yang satu ini, terkait reward terhadap profesi yang dinilai sebagai profesi kerja intelektual. Tentunya bukan sekedar membeli buku dan berlangganan berbagai program untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, namun bagaimana kehidupan para wartawan ini sejahtera.

 

 

Seorang teman wartawan bernama Aliando (wartawan Kalsel Pos) pernah berujar kualitas harus diimbangi pula dengan peningkatan penghasilan secara baik dan profesional.Kerja keras terbaik tentu harus mendapat take and give yang baik dari perusahaan dmana dia bekerja. Namun problematika adalah tidak semua perusahaan pers mampu memberikan upah yang layak, karena kondisi keuangan dan perusahaan yang belum stabil. Terlebih banyak usaha media bersifat rintisan, karena dimulai dengan yang kecil.

Kegelisahan seorang Adam Basrindu dan Aliando pun, juga dirasakan sebagian besar wartawan di Indonesia. Bahkan merujuk tulisan Adam Basrindu berjudul Hari Buruh, Momentum “Kuli Tinta” Naik Kelas Jadi “Mediapreneur”, seperti disebutkan hasil survey Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ternyata 25% wartawan saat ini mendapat gaji rata-rata Rp.1– Rp.1,3 juta perbulan. Bahkan ada yang masih menerima gaji di bawah Rp.200 ribu perbulan.Tentu hal yang wajar jika ada sebuah perubahan dan solusi cerdas memecahkan persoalan ini.

“Hal ini dikemukan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan dalam Dialog Pers Menjawab yang disiarkan langsung oleh Stasiun TVRI, menyampaikan hasil survei AJI mengenai kondisi media massa di Indonesia, beberapa saat lalu dengan melakukan Survei dilakukan terhadap 400 wartawan yang bekerja di 77 media massa dan tersebar di 17 provinsi,” ujar Adam Basrindu dalam tulisan artikelnya.

Adam yang juga Pemimpin Umum Media Borneoterkini.com, melakukan penelitian kecil dan observasi lapangan mewawancarai 48 orang wartawan di Kota Banjarmasin, menemukan masih ada wartawan yang tidak mendapatkan gaji tetapi hanya honor per berita yang berkisar antara 15-25 ribu per berita yang terbit.

Dia menyebut dengan gamblang, tentang wartawan yang hanya mendapatkan bagi hasil dari iklan dan kontrak publikasi dari instansi yang berkisar antara 10-50 % dari nilai iklan dan kontrak publikasi, untuk nilai bagi hasil 50 % biasa disebut dengan istilah “belah semangka”.

“Selain itu, hasil penelusuran SMSI Banjarmasin di lapangan juga masih ada perusahaan media yang sudah tervirifikasi faktual oleh Dewan Pers, masih memberikan gaji untuk “pucuk pimpinan nadi jurnalistiknya” yaitu Pemimpin Redaksi, masih senilai dengan UMP saja. Bisa kita bayangkan berapa gaji untuk pekerja dan khususnya “kuli tinta” yang jabatannya dibawah Pemimpin Redaksi,” katanya lagi.

Abdul Manan dalam buku Upah Layak Jurnalis , menyebutkan alasan mengapa soal kesejahteraan jurnalis sangat penting diperjuangkan, jawabannya cukup terang. Kebebasan pers dan profesionalisme adalah prasyarat penting bagi tumbuh dan berkembangnya iklim pers yang sehat dan demokratis. Tapi, dua soal itu saja tak cukup. Kondisi itu juga harus ditopang oleh lingkungan yang baik dan memadai, baik politik maupun ekonomi. Dalam sistem politik yang represif, umumnya kebebasan pers—dan juga profesionalisme jurnalisnya—juga dalam tekanan seperti layaknya partai oposisi yang dibatasi dan dibungkam geraknya

Dalam kampanye upah layak, AJI melakukan modifikasi dalam standar pengupahan yang harusnya diberikan kepada jurnalis. Pilot project dalam kampanye upah layak ini mulai dilakukan tahun 2006 lalu di Jakarta. Metode dari upah layak itu sebenarnya mengadopsi standar penyusunan upah minimum, namun dengan komponen yang disesuaikan dengan kebutuhan jurnalis. Dengan modifikasi itulah muncul sejumlah komponen seperti bahan bacaan dan kredit perlengkapan kerja. Komponen ini sebagai nilai tambah dari kebutuhan orang yang bergelut di profesi ini karena tanggungjawabnya yang berbeda dari profesi yang lain. Bagi AJI, komponen yang ada dalam upah layak AJI itu setimpal dengan beban dari para pekerja di bidang ini.

Memang menarik apa yang dikemukan AJI dan langkah strategis yang ditempuh SMSI.Salah satunya adalah memanfaatkan potensi-potensi SDM yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk peningkatan kemampuan jurnalistik, SMSI mendirikan Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred SMSI) untuk mengawal kemampuan keredaksian dari para mediapreneur yang tergabung dibawah SMSI.

Bagaimana solusi terbaik itu dalam mensejahterakan kehidupan wartawan dalam konteks luas. Tak sekedar motivasi namun juga kerja nyata di lapangan dengan kreativitas tanpa ujung namun memiliki power lewat profesionalisme. Salah satunya adalah mendidik keterampilan enterpreneur bagi para wartawan, tanpa menghilangkan sense of jurnalistik yang berpihak kepada kepentingan publik.

Tak hanya sekolah Jurnalistik, namun juga sekolah enterpreneur bagi kalangan awak media yang mengandalkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi digitalisasi.Kemerdekaan dan martabat pers wajib dijaga, meskipun demikian faktor kesejahteraan mereka dengan berkarya lewat pemikiran intelektual seperti awak media perlu juga diperhatikan bersama. Wartawan juga manusia.

*Penulis adalah Wartawan Senior Transmedia & Ahli Pers Dewan Pers

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Exit mobile version