Bahasa Banjar dan Pelintasan Bahasa Jawa
Oleh Abd Munir, M.Sc.
Sepintas antara Bahasa Banjar dan Jawa sangat berbeda. Dari segi kosakata tidak ada yang sama apalagi intonasinya. Karena, dialek Banjar serumpun dengan bahasa Melayu yang dipakai di Malaysia, Brunei, Thailan Selatan, sebagian Filipina, dan hampir seluruh Indonesia terutama Sumatera pada umumya, terutama Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, ilmu pengetahuan, lingua pranca, berasal dari bahasa Melayu dan diperkaya oleh hampir seluruh bahasa daerah nusantara serta dipungut dari bahasa asing. Dalam perkembangannya bahasa Jawa banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti urug (timbunan tanah), arem-arem (makanan terbuat dari ketan dan beras ditambah daging ayam), irit (hemat), kebablasan (kelewatan). Begitu pula dengan bahasa daerah lainnya turut memperkaya khazanah bahasa nasional dan terjadi pelintasan dari bahasa asing (Arab, Belanda, Inggeris, Cina, Portugis, Spanyol) sebab bahasa Indonesia sangat lentur.
Karena perbedaan derivasi antara bahasa Jawa dan Banjar tentu berbeda pula aspek semantiknya. Walau demikian diperkirakan ada ratusan kata yang sama maknanya (tetapi ada yang bergeser penuturan dan artinya). Lema-lema itu adalah:
Kesinoniman dalam Bahasa Banjar dan Jawa
Bahasa Banjar | Bahasa Jawa | Makna |
akur
banyu iwak ilat uyah lading lawas larang lawang leha kancing reken luruh inggih sugih sangu ingu payu celengan senewan sunduk tilam gulu awak kumbah selikur jelujur sembrono ngaran wayah picak gendak serampangan pisuh bumbung kiwa kemaruk hanyar habang hirang pakan pagat paring ngunduh murah mandak saban surui kucak peceran pelatikan perai/parai anum takun lakun talu sawalas gawian tilasan rigat sanga sanga waluh selawi pian mangit hibak agung sasogon |
akur
banyu iwak ilat uyah lading lawas larang lawang leha kancing reken luruh inggih sugih sangu ingu payu celengan senewen sunduk tilam gulu awak kumbah selikur jelujur sembrono ngaran wayah picak gendak serampangan pisuh bumbung kiwa kemaruk anyar abang ireng peken pegat pering ngundhuh murah, mirah (K) mandheg saben suri kucek peceren peletikan perei enom takon lakon telu sewelas gawean telesan reget sangan sanga waluh selawi sampeyan semangit kebak gong sagon |
setuju
air ikan ilat garam pisau lama mahal pintu istirahat, santai tutup hitung jatuh/rontok ya kaya bekal pelihara laku tabungan sedikit gila alat untuk menutup/mengunci tilam leher badan cuci dua pulu satu jahit tangan asal-asalan nama/sebut waktu buta pacar sembarangan mengeluarkan kata kotor bambu kiri ingin makan terus baru merah hitam pasar putus bambu petik tidak mahal berhenti tiap sisir gesek air kotor keciperatan libur muda tanya (tingkah) laku tiga sebelas pekerjaan pakaian untuk dibasahi kotor goreng sembilan labu dua puluh lima Anda, kamu Bau makanan penuh gong makanan dari tepung beras, kelapa dan gula putih |
Tetapi ada beberapa kata-kata dalam bahasa Banjar dan Jawa pengucapannya sama (homofon) tetapi maknanya berbeda, seperti:
Bahasa Banjar | Makna | Bahasa Jawa | Makna |
pacul
tampar jangan tampah irus carik ngalih diunjuk sing garing landung untuk (untuk) jejuluk maarit |
terlepas
pukul jangan pesan nama orang robek sulit diserahkan saling,dg cara sakit kesiangan sejenis kue galah merasakan sakit
|
Pacul
tampar jangan tampah irus carik nalih diunjuk sing garing landung unthuk jejuluk ngarit
|
cangkul
tali lauk nyiru sendok nasi wakil lurah pindah diminum yang kering memanjang buih panggilan memotong rumput
|
Kata (tapa)rukui berasal dari lema rahayu atau dirgahayu ‘selamat’ menjadi rahai, taburahai, serahai, ruhui, dan akhirnya berubah tuturan menjadi rukui. Kosakata ripu ‘terlalu masak’, likit ‘menyalakan’, dan getek dalam bahasa Banjar berasal dari vokabuler Inggeris ripe ‘masak’ dan light it ‘nyalakan ini’, serta get dan take. Sementara banku, lampu, dan saku dipungut dari bahasa Perancis le banc ‘bangku’, la lampe ‘lampu’, dan le sac ‘kantongan/tas’. Sedangkan kata gesang bersinonim dengan widodo yang berarti hidup dalam bahasa Jawa jangan disalahkaprahkan dengan bahasa Banjar gisang ‘gesek’. Adapun nama Yapahut konon berasal dari perusahaan kayu Java Wood (milik Belanda) yang pernah berdiri di ujung jalan Sutoyo, dekat R.S. dr.Suharsono (TPT). Sedangkan calap ‘berair/kebanjiran’ perubahan dari celup (Banjar: culup).
Adanya perbendaharaan yang sama dan mirip tidak semena-mena terjadi dengan sendirinya tetapi amat berkelindan dengan sejarah Kerajaan Banjar. Syahdan, salah seorang raja di Bandarmasih (sebutan jaman dahulu untuk Banjarmasin) meminta bantuan bala tentara dari Mataram maka dikirimlah sepasukan tentara di bawah komandan Patih Masih. Penghargaan diberikan berupa ototorita penguasaan sebuah bandar kepada Patih Masih. Sejak itu daerah Kuin dan sekitarnya dinamakan Bandarmasih, asal kata Banjarmasin. Syahbandar Patih Masih dan serdadunya betah tinggal di Muara Kuin walaupun perang usai. Mereka menetap dan menikah dengan penduduk asli. Sejak itu bahasa Jawa melintas ke dalam bahasa Banjar.
Bahasa Jawa dan Banjar sangat berbeda baik dari aspek morfologi, fononetik, ataupun semantik. Tetapi seiring dengan perkembangan, pembangunan, komunikasi, dan akulturasi kedua dialek ini diharapkan saling mengisi dan memperkaya khazanah masing-masing. Seperti kata-kata yasinan, pengajian, jumatan, syukuran, selikuran sudah menjadi makna budaya bersama. Selain itu kesenian rakyat seperti wayang, Kuda Gepang (Jawa Jaran Goyang) dan Damarwulan adalah kesenian yang pernah dipertunjukkan baik di Jawa maupun di Kalimantan Selatan. Namun sekarang sudah jarang sekali ditemukan.
Bahasa Banjar asli tampaknya semakin tidak diacuhkan sehingga kelak dikhawatirkan kita tidak membanggakan bahasa sendiri lagi.
*Penulis adalah Dosen STIE Pancasetia Banjarmasin & Pembelajar Bahasa.