Oleh Abd Munir MSc

Setiap bahasa memiliki karakter khusus yang unik. Bahasa Banjar atau bahasa Melayu Banjar yang sangat berpengaruh di Kalimantan (tidak termasuk Kalbar) mempuyai ciri reduplikasi pada kosakatanya. Para pakar bahasa dalam diakronis berpendapat bahwa bahasa banjar tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia barat dalam gugusan kepulauan di selatan Lautan Pasifik.

Reduplikasi atau perulangan adalah proses penurunan kata dengan perulangan, baik secara utuh maupun secara sebagian. Menurut bentuknya, reduplikasi nomina dapat dibagi menjadi empat kelompok: (1) perulangan utuh, (2) perulangan salin suara, (3) perulangan sebagian, dan (4) perulangan yang disertai pengafiksan (Alwi dkk, 2000). Pengulangan bermakna keanekaan (jaksa-jasa tinggi), kekolektifan (reruntuhan), kemiripan rupa (langit-langit), kemiripan cara (kucing-kucingan). Sementara dalam bahasa Inggris dan Perancis tidak terdapat replikasi, terkecuali yang kebetulan sama dengan itu adalah reread (Inggris, membaca kembali), bonbon (Perancis, permen). Dalam bahasa Jawa dikenal dengan  istilah salin suara.

 

 

Bahasa Banjar terbagi menjadi kelompok bahasa Banjar Non pahuluan yang pada umumnya ada di Banjarmasin, Banjarbaru, kabupaten Banjar, sebagian Tanah Laut, sebagian Kotabaru dan Tanah Bumbu bahasa Banjarnya bervariasi, kelompok bahasa Banjar Hulu atau Pahuluan atau Banua Lima pada umumnya menggunakan tiga hurup hidup saja (a, i, dan u) disertai pitch yang kentara, cepat, dan pendek-pendek, bahasa Banjar Marabahan dipengaruhi dari intonasi Dayak, dan Banjar Kuala pada umumya lambat, mengalun, meliuk-liuk, dan rendah.  Kosakata di tiga domain ini mirip mirip saja namun intonasinya berbeda. Orang-orang Banjar Hulu Sungai kayaknya lebih suka mengulang  suku kata dan kata-kata dalam berbicara. Ini dimaksudkan untuk memantapkan pembicaraannya. Hampir seluruh jenis kata diulang penyebutannya baik yang tergolong kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata keterangan (adverbia). Dalam bentuk nomina kita mengnal kata kuda-kuda, siku-siku, untuk untuk (sejenis kue), onde-onde (sejenis kue), pahat-pahat (hewan kecil di sungai), kakatupi (burung hantu), kababitak (laba-laba), unggut-unggut angui (bonglon) julung-julung (ikan darat), papuyu (sejenis ikan). Dalam bentuk verba adalah jalan-jalan, dalam bentuk adjektiva seperti kasasipuan (malu) Bentuk adverbia bahihinipan. Nama-nama kampung, dan kecamatan juga diulang misalnya Bati Bati, Asam Asam, Kait Kait, Buas Buas. Kenyataannya banyak kata yang bisa diredupklikasikan dalam bahasa Banjar. Semua orang Banjar bisa bereduplikasi-ria kalau berbicara.   Kita ini kalau berbicara suka mengulang-ulangi suku kata seperti menyebut kelalatu atau kalalatu  ‘sisa pembakaran hutan’, babongko atau babungku, kakoleh atau kakulih, kararaban, kelalapon atau kalalapun, gagicak, gegodoh atau gaguduh, gegati atau gagati, papundut, pepaken atau papakin pepudak atau papudak adalah semua jenis kue tradisional tapi tidak bisa lelupis, lelamang, tetapai. Yang ada tetapaian.

 

Beberapa  reduplikasi dapat kita pindai pada banjaran lema berikut: bini, babinian, bibinian ‘perempuan, isteri’, laki, lalakian ‘lelaki’, tuha, tutuha, tatuha ‘tokoh masyarakat, Ayam, aayaman ,nama burung.

 

Kulibi                 bakukulibian                        saling mencibir

Gawai                 gagawaian                           tidak serius

Langit                lalangitan                             pelafon

Piring                 papiringan                           sebagai piring

Tabib                  tatabipan                            seperti tabib

Tambai              tatambaian                          awal

Ulu                     bauuluan                           saling  mengejek

Anak                 kakanakan                          anak-anak

Enca,inca          eencaan,iincaan                  tidak sebenarnya

Ingat                 iingatan                              rasa ingat

Kawal                kakawalan                          teman-teman

Sambat              asambatan                        menjadi sebutan orang

Jabuk                 manjajabuki                      menyebabkan lapuk

Dara                   dadaraan                         remaja

Suluh                 basasuluh                        menerangi

Sumap               sasumapan                      kue yang dimasak di atas air mendidih

Elang, ilang       baeelangan,                     Saling mengunjungi

Gemet,gimit      bagegemetan                  pelan-pelan

Rusak                 bararusak                       menghancurkan

Culup                  bacaculup                       mencelup

Rami                   bararamian                    bersenang-senang

Padah                 papadahan                    pemberian nasihat

Garing                gagaringan                     kurang enak badan

Lacuk                 lalacukan                         seperti waria, feminis

Dengar               tatangar                         seperti mendengar, deja ecouté

 

Begitu gampangnya banyak kata yang direduplikasikan mencerminkan–lama kelamaan–bahasa itu monoton, membosankan, banal, dan kurang cendikia. Kembangkanlah bahasa itu menjadi eksperimen kosakata baru melalui media tulis dengar, pandan-dengar, dan tradisional. Kita sudah selanjung mempunyai munsyi bahasa daerah baik dari perguruan tinggi negeri, swasta, dan tatuha masyarakat. Biarkanlah bahasa banua berkembang dan berkirab di skala nasional.

Semua adjektiva dan hampir seluruh numerika dapat direduplikasikan, misalnya gonol ‘besar’ menjadi gonol-gonol (menunjukkan jamak) dan kagogonolan ‘kebesaran’, hancur  ‘hancur’ menjadi bahahancur ‘pekerjaan menghancur dan mahancur-hancur ‘banyak yang dihancur’. Seratus menjadi bararatus dan baratus-ratus. Tengah hari menjadi batatangahharian ‘selama setengah hari’. Akan tetapi kalau kata mahahar ‘meraba’ direduplikasikan juga akan terdengar lucu dan sulit menuturkannya, yaitu mahahahahar ‘meraba-raba’.  Reduplikas adalah termasuk ciri bahasa orang bahari (dahulu), dan tidak atau jarang dilakukan oleh remaja atau generasi penutur bahasa Banjar sekarang. Mereka tidak suka membuat reduplikasi karena terdengar kuno dan kolot.

 

*Penulis adalah Dosen STIE Pancasetia Banjarmasin.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!