Dr.Bandung Sahari : Sawit Industri Yang Memperhatikan Lingkungan

0

Banjarmasin – Di tengah bagusnya pertumbuhan dan kinerja positifnya sektor perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia, ternyata masih saja muncul terpaan miring terhadap komoditas kebanggaan Indonesia ini. Beragam isu pun menyeruak diantara suksesnya sawit menjadi sektor tahan banting selama pandemi covid-19.

Salah satunya adalah isu negatif sawit. Isu ini pula kerap kali dikampanyekan negatif oleh negara-negara barat, sebagai minyak nabati dunia penghancur lingkungan dan deforestasi. Kendati fakta lain, minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed dan bunga matahari, disebut-sebut masih sama merusak lahan perhutanan.

Isu miring ini pun tetap disikapi dewasa dan cerdas pelaku industri perkebunan kelapa sawit dan pemerintah Indonesia. Berbagai counter attack pun dilakukan menekan laju gelombang serangan kampanye hitam yang dilakukan sebagai bentuk lain dampak persaingan industri global.

 

Aktivitas perkebunan sawit milik salah satu anak perusahaan Astra Agro Lestari Tbk.

 

Ketua Bidang Sustainability Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Dr Bandung Sahari, mengatakan perkebunan kelapa sawit selalu dituduh menjadi penyebab deforestasi.Ia pun menyebutkan jika dalam diskusi atau webinar berkaitan dengan deforestasi selalu terarah kepada perkebunan kelapa sawit.

“Biasanya kalau kita di Google kata deforestasi, pasti yang muncul selalu kelapa sawit.Padahal fakta berbicara sawit tu menggunakan lebih sedikit lahan untuk perkebunan dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa yang lebih besar menggunakan lahannya untuk perkebunan minyak nabati lain,” Bandung Sahari, ketika berbicara dalam seminar di Borneo Palm Oil Forum, Kamis (16/12/2021), di Calamus Ballroom Hotel Rattan Inn, Banjarmasin.

Menurut pria yang sehari-hari adalah Senior Vice President (SVP) Suatainability Astra Agro Lestari Tbk, penting untuk diketahui dan dicatat adalah yang menggunakan lahannya paling besar untuk pertanian di dunia, ternyata bukan Indonesia, melainkan justru negara-negara maju seperti Amerika dan Australia dan eropa menggunakan banyak lahannya untuk pertanian.

“Indonesia itu kecil sekali dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut yakni hanya 7,5 persen, namun parahnya negara kita disebut mereka sebagai biang kerok deforestasi.Kita sangat menyayangkan tudingan yang tidak benar yang disuarakan para pesaing industri minyak kelapa sawit,” tutur Bandung Sahari, yang mempresentasikan Penerapan Aspek Sustainability di Perkebunan Kelapa Sawit dan Adaptasi Pelaksanaannya di Masa Pandemi Covid-19.

 

Pemanfaatan teknologi digital untuk optimalisasi operasional di perkebunan kelapa sawit.

 

Bandung pun mempertanyakan jika melihat fakta yang sebenarnya siapa yang melakukan deforestasi. Karena itulah ia tetap teguh dan menegaskan justru sawitlah yang sangat memperhatikan lingkungan. Bandung yang juga Peneliti di CTSS – IPB (Center fo transdisiplinary and Sustainability Science – Institut Pertanian Bogor), menyebutkan jika Indonesia maupun negara lainnya memiliki standar berkelanjutan terkait namun berbeda-beda.

“Standar berkelanjutan disini adalah ia harus memperhatikan setiap idustri itu bisa memberikan provit ekonomi dan kelestarian lingkungan yang benar-benar terjaga.Karena itulah ada tiga prinsip yang harus diterapkan dalam mengelola industri minyak kelapa sawit.Yang perlu diperhatikan adalah aspek people, planet dan profit,” bebernya.

Pada sesi seminar yang dihadiri langsung sejumlah pimpinan perusahaan kelapa sawit, instansi terkait,akademisi, Bandung Sahari juga menambahkan tentang penerapan standar sertifikasi Indonesian Sustainnable Palm Oil (ISPO) yang sangat penting bagi industri sawit.

“Sertifikasi itu berlaku secara wajib bagi usaha perkebunan sawit, nah perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO, berarti sudah siap segalanya menjalankan industri dengan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan,” tandasnya.

 

 

Sekedar diketahui saat ini sejumlah perusahaan banyak mengimplementasikan ISPO dalam sustainability.Catatan lain juga ternyata penerapan ini mampu membantu menjaga ekosistem alam. Data Kementerian Pertanian, sebanyak 755 perkebunan sudah memiliki sertifikasi ISPO hingga 31 Maret 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 668 perkebunan milik perusahaan swasta dan 67 di antaranya milik perusahaan BUMN. Sementara baru 20 perkebunan rakyat yang mendapatkan sertifikasi ISPO.(Olpah Sari Risanta).

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!